SOEMPAH PEMOEDA

Pertama : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA Kedua : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA Ketiga : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA Djakarta, 28 Oktober 1928.

Selamat Datang ! Semoga Banyak mendapatkan Informasi Di Blog SOEMPAH PEMOEDA ini. Buat ditunggu Comentnya Dan Saran Bagi Blog SOEMPAH PEMOEDA INI....! | Terima kasih |
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 30 Oktober 2010

Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudia mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi Mengangkat Harkat dan Martabat Hidup Orang Indonesia Asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.

Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.






Kongres Pemuda Indonesia




Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.






Peserta


Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.





Gedung




Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong [3].

Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Para Tokoh Proklamasi



Berikut ini adalah daftar orang yang memiliki peran serta dalam mempersiapkan pelaksanaan proklamasi pada 17 agustus 1945 jam 10.00 wib di jl. pegangsaan timur no.56 jakarta. Berikut ini adalah nama tokoh tersebut beserta aktivitasnya pada waktu itu yaitu :

1. Soekarno dan M. Hatta
Kedua tokoh pahlawan Negara Indonesia itu merumuskan naskah proklamasi bersama dengan Soebardjo. Sukarno dan Bung Karno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan M.Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pertama.

2. Sayuti Melik
Beliau adalah tokoh yang mengetik naskah teks proklamasi setelah disempurnakan dari naskah tulisan tangan asli.

3. Sukarni
Sukarni adalah tokoh pemuda yang sebelumnya pernah memimpin asrama angkatan baru yang berlokasi di menteng raya 31.

4. B.M. Diah
Beliau merupakan tokoh yang berperan sebagai wartawan dalam menyiarkan kabar berita Indonesia Merdeka ke seluruh penjuru tanah air.

5. Latif Hendraningrat, S. Suhud dan Tri Murti
Mereka berperan penting dalam pengibaran bendera merah putih pada acara proklamasi 17-08-1945. Tri Murti sebagai petugas pengibar pemegang baki bendera merah putih.

6. Frans S. Mendur
Beliau seorang wartawan yang menjadi perekam sejarah melalui gambar-gambar hasil bidikannya pada peristiwa-peristiwa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia bersama kawan-kawannya di Ipphos (Indonesia Press Photo Service).

7. Syahrudin
Adalah seorang telegraphis pada kantor berita Jepang yang mengabarkan berita proklamasi kemerdekaan Negara Indonesia ke seluruh dunia secara sembunyi-sembunyi ketika personil jepang istirahat pada tanggal 17 agustus 1945 jam 4 sore.

8. Soewirjo
Beliau adalah walikota Jakarta Raya yang mengusahakan kegiatan upacara proklamasi dan pembacaan proklamasi berjalan aman dan lancar.






Daftar Nama Tokoh Panitia Sembilan / Panitia 9

STRUKTUR ORGANISASI PANITIA SEMBILAN :

Ketua : Ir. Soekarno

Wakil Ketua : Drs. Moh. Hatta

Anggota :
- Achmad Soebardjo
- Muhammad Yamin
- KH. Wachid Hasyim
- Abdul Kahar Muzakir
- Abikoesno Tjokrosoejoso
- H. Agus Salim
- A. A. Maramis

Ir.Soekarnoe

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

      Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926.


     Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

     Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

     Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

     Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

     Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi".


BIODATA IR. SOEKARNO
Nama                    : Ir. Soekarno
Nama Panggilan          : Bung Karno
Nama Kecil              : Kusno.
Lahir                   : Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal               : Jakarta, 21 Juni 1970

Makam                   : Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan)        : Proklamator
Jabatan                 : Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri                  : Tiga isteri
- Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan                   Guruh
- Isteri Hartini, anak  : Taufan dan Bayu
- Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ayah                    : Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu                     : Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
- HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
- HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
- THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926Ajaran: Marhaenisme


Kegiatan Politik      : Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945

BUNG HATTA

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.


Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.






Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.

Berikut Biodata dari Mohammad Hatta

Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)

Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980

Istri : (Alm.) Rahmi Rachim

Anak :

* Meutia Farida
* Gemala
* Halida Nuriah

Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan :

* Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
* Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
* Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
* Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)

Karir :

* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
* Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
* Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
* Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
* Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
* Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
* Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
* Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
* Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
* Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
* Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
* Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
* Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
* Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
* Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
* Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)

RIWAHAYAT HIDUP SUWIRYO

Raden Suwiryo (lahir di Wonogiri, 17 Februari 1903, meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1967) adalah seorang tokoh pergerakan Indonesia. Beliau juga pernah menjadi Walikota Jakarta dan Ketua Umum PNI. Beliau juga pernah menjadi Wakil Perdana Mentri pada Kabinet Sukiman-Suwiryo.




PENDIDIKAN dan pekerjaan

Suwiryo menamatkan AMS dan kuliah di Rechtshogeschool namun tidak tamat. Suwiryo sempat bekerja sebentar di Centraal Kantoor voor de Statistik. Kemudia ia bergiat di bidang partikelir, menjadi guru Perguruan Rakyat, kemudian memimpin majalah Kemudi. Menjadi pegawai pusat Bowkas "Beringin" sebuah kantor asuransi. Pernah juga menjadi pengusaha obat di Cepu.


Awal perjuangan

Di masa mudanya Suwiryo aktif dalam perhimpunan pemuda Jong Java dan kemudian PNI. Setelah PNI bubar tahun 1931, Suwiryo turut mendirikan Partindo. Pada jaman kependudukan Jepang, Suwiryo aktif di Jawa Hokokai dan PUTERA.




Menjadi Wakil Walikota Jakarta

Proses Suwiryo menjabat sebagai walikota dimulai pada Juli 1945 di masa pendudukan Jepang. Kala itu dia menjabat sebagai wakil walikota pertama Jakarta, sedangkan yang menjadi walikota seorang pembesar Jepang (Tokubetsyu Sityo) dan wakil walikota kedua adalah Baginda Dahlan Abdullah. Dengan kapasitasnya sebagai wakil walikota, secara diam-diam Suwiryo melakukan nasionalisasi pemerintahan dan kekuasaan kota.




Peralihan kekuasaan dari Jepang

Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja ditutup-tutupi. Tapi Suwiryo, dengan berani menanggung segala akibat menyampaikan kekalahan Jepang ini pada masyarakat Jakarta dalam suatu pertemuan. Hingga demam kemerdekaan melanda Ibu Kota, termasuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Perpindahan kekuasaan dari Jepang dilakukan tanggal 19 September 1945 dan Suwiryo ditunjuk jadi Walikota Jakarta tanggal 23 September 1945.





Setelah proklamasi kemerdekaan

Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan, Suwiryo-lah salah seorang yang bertanggungjawab atas terselenggaranya proklamasi di kediaman Bung Karno. Semula akan diselenggarakan di Lapangan Ikada (kini Monas) tapi karena balatentara Jepang masih gentayangan dengan senjata lengkap, dipilih di kediaman Bung Karno.



Rapat Raksasa di Lapangan IKADA

Suwiryo dari PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda ikut menggerakkan massa rakyat menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan tekad bangsa Indonesia siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa di Ikada ini dihadiri bukan saja oleh warga Jakarta tapi juga Bogor, Bekasi, dan Karawang.




Ditangkap NICA

Ketika pasukan Sekutu mendarat yang didomplengi oleh pasukan NICA (Nederlands Indies Civil Administration), pada awal 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta hijrah ke Yogyakarta. Suwiryo yang tetap berada di Jakarta menginstruksikan kepada semua pegawai pamongpraja agar tetap tinggal di tempat menyelesaikan tugas seperti biasa. Pada 21 Juli 1947 saat Belanda melancarkan aksi militernya, Suwiryo diculik oleh pasukan NICA di kediamannya di kawasan Menteng pada pukul 24.00 WIB. Selama lima bulan dia disekap di daerah Jl Gajah Mada, dan kemudian (Nopember 1947) diterbangkan ke Semarang untuk kemudian ke Yogyakarta.





Perjuangan di Jogja

Di kota perjuangan, wali kota pertama Jakarta ini disambut besar-besaran oleh Panglima Besar Sudirman yang datang ke stasion Tugu. Di sana Suwiryo ditempatkan di Kementrian Dalam Negeri RI sebagai pimpinan Biro Urusan Daerah Pendudukan (1947-1949). Pada September 1949, Suwiryo kembali ke Jakarta sebagai wakil Pemerintah RI pada Republik Indonesia Serikat (RIS).




Setelah Perang Kemerdekaan

Pada 17 Februari 1950 Presiden RIS, Sukarno mengangkatnya kembali sebagai Walikota Jakarta Raya. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM dalam Kabinet Sukiman-Suwirjo (April 1951 - April 1952). Jabatan walikota diganti oleh Syamsurizal (Masyumi). Setelah berhenti menjadi Wakil PM, kemudian Suwiryo diperbantukan beberapa saat di Kementrian Dalam Negri. Setelah itu Suwiryo menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Umum merangkap Presiden Komisaris Bank Industri Negara (BIN) yang kemudian dikenal dengan Bapindo. Suwiryo meninggalkan dunia perbankan setelah terpilih menjadi Ketua Umum PNI. Lepas dari kegiatan partai, Suwiryo menjadi anggota MPRS dan kemudian menjadi anggota DPA.


Meninggal dunia

Enam tahun terakhir masa hayatnya, Suwiryo berjuang melawan penyakit yang tidak dapat dilawannya, akhirnya beliau meninggal pada 27 Agustus 1967 dan dimakamkan di Taman makam Pahlawan Kalibata.

RIWAYAT HIDUP SUKARNI

Kelahiran dan Masa Kecil

Nama lengkapnya adalah Sukarni Kartodiwirjo. Sukarni lahir hari Kamis Wage, 14 Juli 1916 di desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Su artinya lebih, Karni artinya banyak memperhatikan. Sukarni diharapkan orangtuanya supaya lebih memperhatikan nasib bangsanya yang kala itu masih dijajah Belanda.

Sukarni merupakan anak keempat dari Sembilan bersaudara. Urutan saudaranya adalah:

1. Hono

2. Sukarmilah

3. Sukardi

4. Sukarni

5. Suparti (Ny. Suparto)

6. Endang Sarti (Ny. Muslimin)

7. Endi sukarto

8. Sukarjo

9. Nama tidak diketahui (meninggal ketika masih kecil)

Ayahnya adalah Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama Supiah, gadis Kediri. Keluarga Sukarni cukup kaya dibanding penduduk yang lain. Mereka membuka toko daging di pasar Garum dan usahanya sangat laris.

Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman siswa-nya Ki Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni diajari nasionalisme oleh Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.

Sebagai anak muda, Sukarni terkenal sebagai tukang onar. Dia sering berkelahi dan hobinya menantang orang Belanda. Dia pernah mengumpulkan 30-50 orang teman-temannya dan mengirim surat tantangan ke anak muda Belanda untuk berkelahi. Lokasinya di kebun raya Blitar, dekat sebuah kolam. Anak-anak Belanda menerima tantangan itu dan terjadilah tawuran. Kelompok Sukarni memenangkan perkelahian itu dan anak Belanda yang kalah dicemplungkan ke kolam.

Menjadi Aktivis Pergerakan

Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk menjadi anggota perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930. Semenjak itu dia berkembang menjadi pemuda militan dan revolusioner. Malah dia sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.

Waktu di MULO, Sukarni dikeluarkan dari sekolah karena cari gara-gara dengan Belanda. Bukannya padam, semangat belajarnya malah makin membara. Dia sekolah ke Yogyakarta, kemudian ke Jakarta di sekolah guru. Malah atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno) Sukarni disekolahkan di Bandung jurusan jurnalistik.

Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni pernah mengikuti kursus pengkaderan politik pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan mengikat sahabat dengan Wikana, Asmara Hadi dan Trimurti.

Tahun 1934 Sukarni berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda, sementara itu Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Tahun 1936 pemerintah kolonial melakukan penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tapi Sukarni sendiri berhasil kabur dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.

Masa Jepang

Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni tertangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke Samarinda. Namun, setelah Jepang masuk, Sukarni berserta beberapa tokoh pergerakan lain seperti Adam Malik dan Wikana malah dibebaskan oleh Jepang. Awal-awal pendudukan Jepang, Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh Adam Malik (yang kemudian berubah jadi Domei). Di masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu dengan Tan Malaka. Tan Malaka-lah otak pembentukan partai Murba dan dia juga lah yang menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar Sukarni yang menjadi Ketua Umum.

Tahun 1943, bersama Chairul Saleh, dia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Disitu Sukarni makin giat menggembleng para pemuda untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Seperti diketahui, pada kurun selanjutnya, Menteng 31 dikenal sebagai salah satu pusat penting yang melahirkan tokoh angkatan 45.

Peristiwa Rengasdengklok

Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah pimpinan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya mendesak Soekarno dan Hatta, tapi mereka berdua menolak. Terjadi perdebatan sengit. Akhirnya, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari “pengaruh” Jepang, kedua pemimpin itu “diculik” ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda dengan pimpinan Sukarni.

Seputar Proklamasi

Untunglah semua pihak kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1945 dan itulah yang terjadi. Selanjutnya, Sukarni bekerja mengemban amanat kemerdekaan, bahu-membahu bersama kelompok pemuda lainnya. Sukarni membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar kemerdekaan ke seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan untuk buruh dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian melahirkan laskar buruh dan lakcar buruh wanita.

Di zaman RI Yogya, Sukarni menjabat sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan pemerintah dan menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat Sukarni dijebloskan ke penjara tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami penahanan di Solo, Madiun, Ponorogo (daerah komunis Muso) di masa pemerintahan Amir Syarifudin (1947/1948)

Menjadi Ketua Partai Murba

Semenjak partai Murba terbentuk Nopember 1948, sampai wafatnya Sukarni menjabat sebagai ketua umumnya. Dia juga duduk sebagai anggota Badan pekerja KNI Pusat. Dalam pemilihan Umum yang pertama (1955) Sukarni terpilih sebagai anggota Konstituante.

Sejak tahun 1961 Sukarni ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di Peking, ibukota RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan kembali ke tanah air Maret 1964. Konon dalam pertemuan di Istana Bogor Desember 1964, Sukarni sempat memperingatkan Bung Karno atas sepak terjang PKI. Tapi berlawanan dengan harapan, partai Murba malah dibekukan tahun 1965 dan Sukarni beserta pemimpin Murba lainnya dipenjara.

Di masa Orde Baru, Sukarni dibebaskan dan larangan Murba dicabut (direhabilitasikan 17 Oktober 1966). Kemudian Sukarni ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1967) yang merupakan jabatan resmi terakhir. Tokoh yang mendapat Bintang Jasa Maha Putera kelas empat ini wafat 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata dengan upacara kenegaraan.















peran sukarni dalam proklamasi

setelah SUKATARDJO (Soekarno-Hatta-A. Soebardjo) menyelesaikan naskah proklamasi. Soekarno mengusulkan agar semua hadirin yang berada di rumah Laksamana Maeda (tempat pembuatan naskah proklamasi) menandatangani naskah tersebut yang dianggap soekarno seperti declaration of independence amerika yang ditandatangin oleh setiap negara bagian. namun, Soekarni mengusulkan agar naskah itu ditandatangin oleh soekarno dan hatta dengan "atas nama bangsa indonesia"

.::AMEXZ::. .::AMEXZ::.
Untuk tukeran banner, silakan copy-paste scipt dibawah ini, dan konfirmasikan lewat chatbox atau kirim komen,, saya akan link back kembali, TERIMA KASIH
Link Teman
Banner Teman